1. Al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk).
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (QS. 2:2)
Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari masih banyak umat islam tidak menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Misalnya saja masih banyak umat islam yang melaksanakan praktik ritual yang sebenarnya merupakan praktik kehidupan animism dan dinamisme seperti upacara penanaman kepala kerbau, upacara ruwatan (akhir-akhir ini sering dikelola oleh paranormal), dan pernik-pernik acara pernikahan yang tidak dituntunkan oleh islam.
2. Al-Qur’an sebagai furqon (pembeda)
Maksud Al-Qur’an sebagai furqon adalah Al-Qur’an sebagai juklak untuk mementukan mana yang haq dan mana yang bathil.
Pelaksanaan praktik ibadah yang bukan dari ajatran islam oleh sebagian kaum muslimin menunjukkan bahwa banyak umat Islam (tanpa disadari) tidak mempunyai furqon karena tidak menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Mereka tidak tahu mana yang haq – yang berasal dari petunjuk Al-Qur’an – dan mana yang bathil (pengaruh animisme dan dinamisme). Akibat yang paling fatal adalah terjerumusnya sang pelaku pada perbuatan syirik.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. 4:48).
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. 39:65)
Namun pada kenyataanya, masih ada sebagian umat Islam sulit meninggalkan praktik-praktik animism tersebut. “Sudah menjadi tradisi turun temurun dan toh baik-baik saja untuk dilakukan …”, merupakan alas an yang paling afdol. Padahal Allah telah memperingatkan,
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan kepada Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (QS. 5:54). Ayat yang relevan QS. 43:24.
3. Al-Qur’an sebagai syifa’ (obat bagi penyakit rohani)
Hai, manusia, sesungguhnya telah dating kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57)
Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah penyekit-penyakit rohani, seperti sombong, riya’ dengki, dan lain-lain.
4. Al-Qur’an sebagai jalan lurus (keselamatan) dan mengeluarkan dari kegelapan (menjadi cahaya penerang dari tidak tahu menjadi mengerti).
Sumber:
Drs. Mahyudin HS, Reformasi Cara Memahami Al-Qur'An, Kaffah, Jakarta, 2002
Sabtu, 16 April 2011
Peringatan Al-Qur’an Mengenai Syahwat
Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan manusia agar tidak tenggelam dan larut dalam syahwat. Dia menjelaskan bahwa mengikuti syahwat hanya akan menyisakan kerugian yang nyata di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Dalam Tafsir Al-Muntakhab dijelaskan bahwa “fasaufayalqauna ghayyan” bahwa mereka kelak mendapatkan balasan atas kesesatan dan kemaksiatan mereka baik di dunia maupun di akhirat. 1] Tafsir Al-Muntakhab, hlm.45
Orang-orang yang dililit oleh aliran syahwat diidentifikasi sebagai orang yang sama sekali tidak menyukai kebaikan bagi kaum muslimin. Sungguh mereka menyimpang dari rel dan koridor yang benar dan sungguh buruk (jahat) apa yang mereka niatkan, sebagaimanadisebutkan dalam firman Allah,
“Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (An-Nisaa’: 27)
Allah menghendaki agar orang-orang beriman memalingkan pandangan mereka dari fatamorgana syahwat keduniawian pada sesuatu yang lebih utama, sebagaimana firman-Nya,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali ynag baik (surge). Katakanlah; “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surge yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya.” (Ali Imran: 14-15)
Terjerumusnya manusia pada budaya syahwat disebabkan oleh ketundukannya pada hawa nafsu “ammaratu bissu`” cendrung mengajak pada keburukan). Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi peringatan keras pada siapa saja yang memperturutkan hawa nafsu. Akibatnya, manusia menyimpang dari aturan dan jalan Tuhan yang Maha Pengasih, manusia yang seperti itu layak disebut binatang. 2] Bahkan, mereka lebih sesat dari binatang, sebagaimana firman Allah Ta’ala; “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 44)
Orang-orang ynag diperbudak oleh hawa nafsunya juga dimasukkan dalam kelompok orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, sebagaimana firman-Nya,
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaukannya diulurkannya lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 175-176)
Orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu lebih berpeluang besar untuk tersesat, dan menjauhkan diri mereka dari kebenaran, karena merelakan diri mereka mengikuti kebatilan. 3] Diambil dari tafsir Al-Muntakhab secara ringkas.
Allah berfirman, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka), dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang ynag zhalim.” (Al-Qashaah: 50)
Allah juga berfirman, “Maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shaad: 26)
Allah juga berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 23)
Sungguh, telah nyata bahwa mengikuti hawa nafsu merupakan sebab terjerumusnya manusia dalam kesesatan dan penyimpangan dari keadilan, Allah berfirman “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (An-Nisaa’: 135)
Telah dijelaskan pula bahwa hawa nafsu merupakan penghalang seseorang untuk masuk ke dalam surge, maka tidak seorang pun yang memasuki surga kecuali dia telah membersihkan dirinya dari segala kerak hawa nafsu yaitu dengan cara menaklukannya.
Allah berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi’at: 40-41)
Allah juga mengingatkan agar tidak menaati atau terpengaruh dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya karena segala perbuatannya jauh dari kebenaran, sebagaimana firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Telah dijelaskan bahwa hawa nafsu , jika telah mendiami dan melembaga di hati manusia akan menyebabkannya terjatuh dari petunjuk Allah, sehingga dia menjadikan tandingan yang disembah selain Allah, matanya terbutakan dari menyorot kebenaran dan gendang telinganya tuli tidak dapat mendengar kebenaran.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 43-44)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkategorikan orang yang mengikuti hawa nafsu sebagai orang telah berpali dari kepentingan akhirat, dan siapa saja yang meniti jalan mereka niscaya akan ikut binasa dan merugi dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan dating Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang y6ang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (Thaha: 15-16)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Dalam Tafsir Al-Muntakhab dijelaskan bahwa “fasaufayalqauna ghayyan” bahwa mereka kelak mendapatkan balasan atas kesesatan dan kemaksiatan mereka baik di dunia maupun di akhirat. 1] Tafsir Al-Muntakhab, hlm.45
Orang-orang yang dililit oleh aliran syahwat diidentifikasi sebagai orang yang sama sekali tidak menyukai kebaikan bagi kaum muslimin. Sungguh mereka menyimpang dari rel dan koridor yang benar dan sungguh buruk (jahat) apa yang mereka niatkan, sebagaimanadisebutkan dalam firman Allah,
“Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (An-Nisaa’: 27)
Allah menghendaki agar orang-orang beriman memalingkan pandangan mereka dari fatamorgana syahwat keduniawian pada sesuatu yang lebih utama, sebagaimana firman-Nya,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali ynag baik (surge). Katakanlah; “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surge yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya.” (Ali Imran: 14-15)
Terjerumusnya manusia pada budaya syahwat disebabkan oleh ketundukannya pada hawa nafsu “ammaratu bissu`” cendrung mengajak pada keburukan). Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi peringatan keras pada siapa saja yang memperturutkan hawa nafsu. Akibatnya, manusia menyimpang dari aturan dan jalan Tuhan yang Maha Pengasih, manusia yang seperti itu layak disebut binatang. 2] Bahkan, mereka lebih sesat dari binatang, sebagaimana firman Allah Ta’ala; “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 44)
Orang-orang ynag diperbudak oleh hawa nafsunya juga dimasukkan dalam kelompok orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, sebagaimana firman-Nya,
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaukannya diulurkannya lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 175-176)
Orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu lebih berpeluang besar untuk tersesat, dan menjauhkan diri mereka dari kebenaran, karena merelakan diri mereka mengikuti kebatilan. 3] Diambil dari tafsir Al-Muntakhab secara ringkas.
Allah berfirman, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka), dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang ynag zhalim.” (Al-Qashaah: 50)
Allah juga berfirman, “Maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shaad: 26)
Allah juga berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 23)
Sungguh, telah nyata bahwa mengikuti hawa nafsu merupakan sebab terjerumusnya manusia dalam kesesatan dan penyimpangan dari keadilan, Allah berfirman “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (An-Nisaa’: 135)
Telah dijelaskan pula bahwa hawa nafsu merupakan penghalang seseorang untuk masuk ke dalam surge, maka tidak seorang pun yang memasuki surga kecuali dia telah membersihkan dirinya dari segala kerak hawa nafsu yaitu dengan cara menaklukannya.
Allah berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi’at: 40-41)
Allah juga mengingatkan agar tidak menaati atau terpengaruh dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya karena segala perbuatannya jauh dari kebenaran, sebagaimana firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Telah dijelaskan bahwa hawa nafsu , jika telah mendiami dan melembaga di hati manusia akan menyebabkannya terjatuh dari petunjuk Allah, sehingga dia menjadikan tandingan yang disembah selain Allah, matanya terbutakan dari menyorot kebenaran dan gendang telinganya tuli tidak dapat mendengar kebenaran.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 43-44)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkategorikan orang yang mengikuti hawa nafsu sebagai orang telah berpali dari kepentingan akhirat, dan siapa saja yang meniti jalan mereka niscaya akan ikut binasa dan merugi dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan dating Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang y6ang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (Thaha: 15-16)
Jumat, 15 April 2011
Konsentrasi Mengingat Allah Swt dalam Shalat
Dalam buku Hadits Tsulatsa’: Ceramah-ceramah Hasan al-Banna, diungkapkan bahwa Hasan al-Banna sering mendapat pengaduan para ikhwan yang sering mengalami hati terpecah dan sulit berkonsentrasi mengingat Allah Swt dalam shalat. Menurut beliau yang perlu diperhatikan sebagai terapi yang bisa menyembuhkan atau minimal meringankan adalah hendaknya kita memahami hikmah setiap amal yang dilaksanakan dalam shalat. Bagaimana Caranya?
1. Ketika menghadap kiblat, berusahalah agar sebelum bertakbir, kita bisa mengarahkan cahaya dari hati kita sampai ke Ka’bah. Bayangkan Allah Swt memandang dan mengawasi kita.
2. Ketika membaca Al-Fatihah, ingatlah hadits qudsi berikut: “Shalat itu dibagi antara aku dan hamba-Ku. Jika hamba-Ku mengucapkan, `Bismillahirrahmaanirrahiim` , maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyebut-Ku`. Jika ia mengucap `Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Jika hamba-Ku mengucap, ‘Ar-rahmaanirrahiim’, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. Jika ia mengucapkan, `Maliki yaumiddin’, maka Allah berfirman, `Hamba-Ku telah memuliakan-Ku’. Jika ia mengucap, `Iyyaka na’budu’, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah beribadah kapeda-Ku’. Apabila ia mengucapkan, `Wa iyyaka nasta’in’, Allah berfirman, `Hamba-Ku bertawakal pada-Ku’. Dan jika hamba-Ku mengucap, `Ihdinash shirattahl mustaqim’, Allah berfirman, `Ini adalah untuk hamba-Ku dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya’.”
Bayangkanlah di hadapan kita ada megaphone yang mengeluarkan gema dan suara berkali-kali di lingkungan Al-Mala’ul ‘Ala, dimana Allah menyebut-nyebut apa yang kita baca, insya Allah kita akan konsentrasi dengan shalat kita.
3. Ketika membaca ayat-ayat Allah setelah Al-Fatihah, maka bermunajatlah dengan “majikan” kita. Berusahalah untuk memahami makna sesuai dengan kadar kemampuan kita, tanpa memaksakan diri. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Surat Al-Qamar: 17).
4. Ketika ruku’, bayangkan seakan-akan kita tunduk memberi penghormatan pada Allah dan berbicara kepada-Nya, “Maha suci Tuhanku yang Mahaagung”. Kemudian saat bangkit dari ruku’ kita kembali memuji Allah dan yakin bahwa Allah mendengar pujian kita. “Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Tuhanku, untuk-Mulah segala puji, seisi langit, seisi bumi, dan seisi apa-apa yang Engkau kehendaki setelah itu.”
5. Ketika sujud, bayangkan bahwa itulah saat kita paling dekat dengan Allah, seperti sabda Rasulullah, “Seorang hamba dalam keadaan paling dekat kepada Tuhannya adalah ketika ia bersujud.”
6. Kemudian saat mengangkat wajah dari sujud, kita memohon ampunan, kasih sayang dan petunjuk dari Allah. Lirihlah mengucap, “Ya Allah, ampunilah aku, limpahkanlah kasih sayang kepadaku, cukupilah aku, tunjukilah aku, serta karuniakan kesehatandan rezeki padaku.”
7. Begitu kita mengulang sesuai rakaat shalat kita. Kemudian di rakaat terakhir, kita menutup dengan tasyahud. Pengakuan bahwa segala kehormatan adalah milik Allah, pengakuan pada keesaan Allah Swt dan kerasulan Muhammad Saw.
8. Maka setelah itu keadaan kita seakan-akan orang yang baru melakukan perjalanan spiritual. Saat kita berusaha meninggalkan dunia dan “mencampakkannya”, meninggalkan manusia. Kemudian saat kita mengucap salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, maka pada hakikatnya kita kembali lagi kepada manusia dan melanjutkan hablum minannas dalam kehidepan kita. [Dee/berbagai sumber]
1. Ketika menghadap kiblat, berusahalah agar sebelum bertakbir, kita bisa mengarahkan cahaya dari hati kita sampai ke Ka’bah. Bayangkan Allah Swt memandang dan mengawasi kita.
2. Ketika membaca Al-Fatihah, ingatlah hadits qudsi berikut: “Shalat itu dibagi antara aku dan hamba-Ku. Jika hamba-Ku mengucapkan, `Bismillahirrahmaanirrahiim` , maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyebut-Ku`. Jika ia mengucap `Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Jika hamba-Ku mengucap, ‘Ar-rahmaanirrahiim’, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. Jika ia mengucapkan, `Maliki yaumiddin’, maka Allah berfirman, `Hamba-Ku telah memuliakan-Ku’. Jika ia mengucap, `Iyyaka na’budu’, Allah berfirman, `Hamba-Ku telah beribadah kapeda-Ku’. Apabila ia mengucapkan, `Wa iyyaka nasta’in’, Allah berfirman, `Hamba-Ku bertawakal pada-Ku’. Dan jika hamba-Ku mengucap, `Ihdinash shirattahl mustaqim’, Allah berfirman, `Ini adalah untuk hamba-Ku dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya’.”
Bayangkanlah di hadapan kita ada megaphone yang mengeluarkan gema dan suara berkali-kali di lingkungan Al-Mala’ul ‘Ala, dimana Allah menyebut-nyebut apa yang kita baca, insya Allah kita akan konsentrasi dengan shalat kita.
3. Ketika membaca ayat-ayat Allah setelah Al-Fatihah, maka bermunajatlah dengan “majikan” kita. Berusahalah untuk memahami makna sesuai dengan kadar kemampuan kita, tanpa memaksakan diri. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Surat Al-Qamar: 17).
4. Ketika ruku’, bayangkan seakan-akan kita tunduk memberi penghormatan pada Allah dan berbicara kepada-Nya, “Maha suci Tuhanku yang Mahaagung”. Kemudian saat bangkit dari ruku’ kita kembali memuji Allah dan yakin bahwa Allah mendengar pujian kita. “Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Tuhanku, untuk-Mulah segala puji, seisi langit, seisi bumi, dan seisi apa-apa yang Engkau kehendaki setelah itu.”
5. Ketika sujud, bayangkan bahwa itulah saat kita paling dekat dengan Allah, seperti sabda Rasulullah, “Seorang hamba dalam keadaan paling dekat kepada Tuhannya adalah ketika ia bersujud.”
6. Kemudian saat mengangkat wajah dari sujud, kita memohon ampunan, kasih sayang dan petunjuk dari Allah. Lirihlah mengucap, “Ya Allah, ampunilah aku, limpahkanlah kasih sayang kepadaku, cukupilah aku, tunjukilah aku, serta karuniakan kesehatandan rezeki padaku.”
7. Begitu kita mengulang sesuai rakaat shalat kita. Kemudian di rakaat terakhir, kita menutup dengan tasyahud. Pengakuan bahwa segala kehormatan adalah milik Allah, pengakuan pada keesaan Allah Swt dan kerasulan Muhammad Saw.
8. Maka setelah itu keadaan kita seakan-akan orang yang baru melakukan perjalanan spiritual. Saat kita berusaha meninggalkan dunia dan “mencampakkannya”, meninggalkan manusia. Kemudian saat kita mengucap salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, maka pada hakikatnya kita kembali lagi kepada manusia dan melanjutkan hablum minannas dalam kehidepan kita. [Dee/berbagai sumber]
Kemuliaan Perempuan di Mata Al Qur’an
Dr. Amir Faishol Fath
Allah swt berfirman: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dengan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS. An Nahl 58-59).
Ayat di atas menggambarkan salah satu sisi dari masyarakat jahiliyah (baca: sebelum datangnya islam). Bahwa mereka sangat merendahkan derajat perempuan. Wajah mereka sinis dan penuh kebencian setiap kali melihat anak perempuan. Mereka memandang kehadiran perempuan sebagai beban. Mereka beranggapan bahwa perempuan tidak produktif.
Padahal dalam berbagai ayat Allah swt menunjukkan bahwa hakikat berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan adalah tanda diantara kebesaran Allah swt. Seperti dalam surat Ar Rum 21
Manusia tidak akan bisa bertahan hidup, jika semua yang ada di muka bumi laki-laki saja atau sebaliknya. Lalu mengapa mereka membenci kaum perempuan? Allah yang menghendaki adanya kaum perempuan, karena Dialah yang Maha tahu akan keharusan adanya perempuan dalam berlangsungnya hidup manusia. Maka, semakin jahiliyah suatu kaum , semakin akal manusia tidak difungsikan secara benar. Dan, semakin jahiliyah suatu kaum, hamper bias dipastikan bahwa yang pertama kali jadi korban adalah kaum perempuan.
Peranan Perempuan Menurut Al Qur’an?
Allah memerintahkan istri-istri Rasulullah saw ---sebagai teladan--- dan perempuan-perempuan Muslimah dimanapun berada agar lebih banyak berperan di rumah sebagai istri bagi suami dan sebagai ibu bagi anak-anaknya. Allah berfirman: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Ini menunjukkan bahwa medan utama perjuangan kaum perempuan adalah rumah. Jangan sampai rumah dikorbankan demi kesibukan di luar rumah. Toh kalaupun ada tugas-tugas penting di luar rumah seperti mencari ilmu dan berdakwah di jalan Allah, itu juga dalam batas tidak sampai mengorbankan tugas-tugas rumah. Sebab pada dasarnya tugas dakwah yang paling pokok adalah membangun rumah tangga yang baik, penuh ketaatan kepada allah. Perhatikan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim 6).
Tetapi bukan lantas kemudian pemahaman ini dijadikan alas an untuk tidak aktif di jalan dakwah? Tidak, tidak demikian. Di dalam Al Qur’an banyak ayat dan contoh-contoh yang menunjukkan di mana seorang perempuan bias memainkan perannya, dalam batas yang sesuai dengan kodrat keperempuanannya dan tidak sampai menyebabkan kemaksiatan. Beberapa ayat menunjukkan hal itu:
(a) Dalam surat An nisa’ 32 Allah menggambarkan bahwa perempuan boleh berusaha atau mencari penghasilan: “dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan”. Dalam urat Qasas 23 digambarkan bagaimana kedua putri Nabi Syua’ib keluar menggembala kambing (karena darurat: sang ayah sangat tua) tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan fitnah.
Allah berfirman: “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambatnya (ternaknya). Musa berkata: “apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua perempuan itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.
(b) Dalam surat Al Mumtamah 12, Allah menggambarkan bagaimana kaum perempuan di zaman Rasulullah saw melakukan bai’at untuk berbuat sejumlah kebaikan. Bahkan dalam surat At taubah 71, digambarkan bahwa antara perempuan dan laki-laki hendaknya selalu bersinergi dalam menegakkan kebenaran: “Adan orang-orang yang beriman , lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.
(c) Dalam surat An Nur 31, Allah mengajarkan agar perempuan tetap menjaga kehormatan dirinya, dengan menutup aurat dan tidak mempertontonkan perhiasannya di depan siapapun yang bukan muhrim, terutama ketika keluar rumah. Dalam ayat itu, setelah menyebutkan mereka-mereka menjadi muhrim, Allah menutup dengan penjelasan-Nya, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Jelasnya bahwa kaum perempuan dalam Al Qur’an mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan fitrahnya. Tidak ada satupun ayat yang menunjukkan bahwa kaum perempuan didzalimi, bahkan mereka menemukan tempat yang sangat mulia. Sejajar dengan laki-laki dalam menentukan pilihan, bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Lebih jauh bahwa perempuan bias bersinergi dengan laki-laki dalam menegakkan kebenaran, dalam batas yang tidak menimbulkan fitnah serta sesuai dengan kodrat keperempuannya.
Allah swt berfirman: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dengan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS. An Nahl 58-59).
Ayat di atas menggambarkan salah satu sisi dari masyarakat jahiliyah (baca: sebelum datangnya islam). Bahwa mereka sangat merendahkan derajat perempuan. Wajah mereka sinis dan penuh kebencian setiap kali melihat anak perempuan. Mereka memandang kehadiran perempuan sebagai beban. Mereka beranggapan bahwa perempuan tidak produktif.
Padahal dalam berbagai ayat Allah swt menunjukkan bahwa hakikat berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan adalah tanda diantara kebesaran Allah swt. Seperti dalam surat Ar Rum 21
Manusia tidak akan bisa bertahan hidup, jika semua yang ada di muka bumi laki-laki saja atau sebaliknya. Lalu mengapa mereka membenci kaum perempuan? Allah yang menghendaki adanya kaum perempuan, karena Dialah yang Maha tahu akan keharusan adanya perempuan dalam berlangsungnya hidup manusia. Maka, semakin jahiliyah suatu kaum , semakin akal manusia tidak difungsikan secara benar. Dan, semakin jahiliyah suatu kaum, hamper bias dipastikan bahwa yang pertama kali jadi korban adalah kaum perempuan.
Peranan Perempuan Menurut Al Qur’an?
Allah memerintahkan istri-istri Rasulullah saw ---sebagai teladan--- dan perempuan-perempuan Muslimah dimanapun berada agar lebih banyak berperan di rumah sebagai istri bagi suami dan sebagai ibu bagi anak-anaknya. Allah berfirman: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Ini menunjukkan bahwa medan utama perjuangan kaum perempuan adalah rumah. Jangan sampai rumah dikorbankan demi kesibukan di luar rumah. Toh kalaupun ada tugas-tugas penting di luar rumah seperti mencari ilmu dan berdakwah di jalan Allah, itu juga dalam batas tidak sampai mengorbankan tugas-tugas rumah. Sebab pada dasarnya tugas dakwah yang paling pokok adalah membangun rumah tangga yang baik, penuh ketaatan kepada allah. Perhatikan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim 6).
Tetapi bukan lantas kemudian pemahaman ini dijadikan alas an untuk tidak aktif di jalan dakwah? Tidak, tidak demikian. Di dalam Al Qur’an banyak ayat dan contoh-contoh yang menunjukkan di mana seorang perempuan bias memainkan perannya, dalam batas yang sesuai dengan kodrat keperempuanannya dan tidak sampai menyebabkan kemaksiatan. Beberapa ayat menunjukkan hal itu:
(a) Dalam surat An nisa’ 32 Allah menggambarkan bahwa perempuan boleh berusaha atau mencari penghasilan: “dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan”. Dalam urat Qasas 23 digambarkan bagaimana kedua putri Nabi Syua’ib keluar menggembala kambing (karena darurat: sang ayah sangat tua) tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan fitnah.
Allah berfirman: “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambatnya (ternaknya). Musa berkata: “apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua perempuan itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.
(b) Dalam surat Al Mumtamah 12, Allah menggambarkan bagaimana kaum perempuan di zaman Rasulullah saw melakukan bai’at untuk berbuat sejumlah kebaikan. Bahkan dalam surat At taubah 71, digambarkan bahwa antara perempuan dan laki-laki hendaknya selalu bersinergi dalam menegakkan kebenaran: “Adan orang-orang yang beriman , lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.
(c) Dalam surat An Nur 31, Allah mengajarkan agar perempuan tetap menjaga kehormatan dirinya, dengan menutup aurat dan tidak mempertontonkan perhiasannya di depan siapapun yang bukan muhrim, terutama ketika keluar rumah. Dalam ayat itu, setelah menyebutkan mereka-mereka menjadi muhrim, Allah menutup dengan penjelasan-Nya, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Jelasnya bahwa kaum perempuan dalam Al Qur’an mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan fitrahnya. Tidak ada satupun ayat yang menunjukkan bahwa kaum perempuan didzalimi, bahkan mereka menemukan tempat yang sangat mulia. Sejajar dengan laki-laki dalam menentukan pilihan, bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Lebih jauh bahwa perempuan bias bersinergi dengan laki-laki dalam menegakkan kebenaran, dalam batas yang tidak menimbulkan fitnah serta sesuai dengan kodrat keperempuannya.
Langganan:
Postingan (Atom)